Rabu, 11 Januari 2012

PROFIL KEMISKINAN NELAYAN

“ PROFIL KEMISKINAN NELAYAN INDONESIA “

TUGAS AKHIR
AGROBINIS PERIKANAN TANGKAP

OLEH :
IRAMAYA S. LEWENUSSA
NIM : 2008-68-021


PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Agrobisnis Perikanan Tangkap dengan judul “Profil Kemiskinan Nelayan Indonesia“, dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Dengan penuh kerendahan hati yang tulus, perkenankanlah penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis sadar bahwa dalam pembuatan tugas ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna memperbaiki dan melengkapi tugas ini ke depan .
Akhir kata semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
                               
                               
                                                                                                Ambon,  November 2011
                                                                                                           
                                                                                                            Penulis













 

DAFTAR ISI
 Halaman

LEMBARAN JUDUL ........................................................................        i
KATA PENGANTAR ………………………………………………        ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………...         iii
BAB I          PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang ……………………………………...        1
1.2    Perumusan masalah …………………………………        3
1.3    Tujuan Penulisan ……………………………………        4
BAB II         TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Perikanan ………………………………………….        5
2.2  Sumber Daya Perikanan …………………………...       6
2.2.1        Sumber Daya Alam …………………………….       6
2.2.2        Sumber Daya Ikan ……………………………..       7
2.2.3        Sumber Daya Manusia …………………………       7
2.2.4        Nelayan  …………………………………...…..        7
2.3  Defenisi Dan Kondisi Umum Kemiskinan ………….     8
BAB III       PEMBAHASAN
                        3.1 Profil Nelayan Indonesia Dan Kemiskinannya ………                11
                        3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan ……….               13
                        3.3 Penanggulangan Kemiskinan Nelayan Indonesia …….               18

BAB IV KESUMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan ………………………………………………………….                 23
4.2 Saran …………………………………………………………………                23
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….                24














BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
               Pembangunan merupakan suatu proses yang terus-menerus dilaksanakan melaui suatu perencanaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek. Dengan kata lain pembangunan merupakan suatu upaya perbaikan yang dilakukan secara terus-menerus dari kondisi yang sebelumnya baik menjadi lebih baik. Berbicara masalah pembangunan, fokus perhatian kita selama ini selalu ditujukan kepada ukuran-ukuran kuantitatif seperti pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, dan peningkatan pendapatan perkapita. Keberhasilan suatu proses pembangunan pun sering diasumsikan sebagai meningkatnya dan terjadinya redistribusi fisik dari membaiknya indikator-indikator perekonomian di atas.
               Pembangunan seharusnya merupakan arena untuk perluasan kebebasan subtantif (subtantive freedom) bagi setiap orang. Artinya pembangunan mengharuskan berbagai sumber non-kebebasan (non freedom sources) sudah seharusnya disingkirkan, yakni kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi dan kemiskinan sosial sistematis, penelataran sarana umum dan intoleransi serta campur tangan rezim refresif yang berlebihan Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa tantangan pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin. Kualitas hidup yang baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih tinggi, namun yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari kesekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya (Bank Dunia dalam Tadaro, 2000: 19).
               Pembangunan yang kita lakukan sejak orde baru hingga menjelang krisis yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang lalu telah menunjukkan hasil yang sangat signifikan dengan tujuan pembangunan, di mana Indonesia dapat dikatakan tergolong ke dalam negara yang berhasil dalam pembangunan. Selama lebih dari tiga dekade, Indonesia telah mencatat prestasi yang mengesankan dalam pembangunan manusia. Kemampuan dicapai di berbagai bidang, mulai dari pengurangan kemiskinan, kesenjangan pendapatan hingga peningkatan harapan hidup dan kemampuan membaca dan menulis. Angka kematian bayi misalnya, menurun tajam sejalan dengan peningkatan akses terhadap sarana kesehatan dan sanitasi.
               Pada periode yang sama juga terjadi peningkatan peranan perempuan, perbedaan rasio pria dengan wanita di berbagai tingkat pendidikan semakin mengecil dan kontribusi wanita dalam pendapatan keluarga juga semakin membesar. Akan tetapi keberhasilan pembangunan itu hanya berlangsung pada tiga dekade itu saja. Keberhasilan pembangunan mulai kembali tidak dapat dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia, yaitu pada tahun 1997. Di mana pada tahun itu pula telah terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan bangsa Indonesia kembali terperangkap ke dalam kungkungan kemiskinan dan ketertinggalan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
   Krisis ekonomi tersebut telah meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin di Indonesia secara drastis. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari seluruh penduduk.  Ibarat tikus mati kelaparan di lumbung padi, para nelayan justru terjerat kemiskinan di tengah sumber daya laut Indonesia yang melimpah ruah. Sungguh ironis, lebih-lebih mengingat status sebagai negara kepualauan telah menjadi ikrar negeri kesatuan Indonesia yang bersifat final. Salah satu cirinya adalah tingginya budaya bahari yang melekat pada jati diri dan sistem sosial masyarakat untuk kehidupan yang cukup panjang. Jales veva jaya mahe (di lautan kita jaya) hanyalah selogan belaka yang tak mampu memberikan makna positif bagi kehidupan sosial-ekonomi nelayan.
Kebijakan penanggulangan kemiskinan nelayan serta pelesteraian ekosistem pesisir dan kelautan juga tak pernah absen diajukan. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, kemiskinan nelayan dan kerusakan ekosistem pesisir masih menjadi fenomena di sepanjang 95,181 ribu kilometer garis pantai Nusantara. Dr. Sudirman Saad (2009), menegaskan bahwa empat juta kepala kelurga masyarakat pesisir yang bermukim di 8.090 Desa, ternyata 32 persen di antaranya hidup dengan pendapatan kurang dari Rp. 300.000 per bulan.
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah penulisan yang merupakan tugas dari Mata Kuliah Perencanaan dan Strategi Bisnis Perikanan, dengan judul “ Profil Kemiskinan Nelayan Di Indonesia”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan tugas ini yaitu:
1.      Bagaiman profil kemiskinan nelayan indonesia?
2.      Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab kemiskinan nelayan Indonesia?
3.      Bagaiman cara penanggulangan kemiskinan nelayan Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan tugas Mata Kuliah Perencanaan dan Strategi Bisnis Perikanan Yaitu Untuk mengetahui Profil Kemiskinan Nelayan di Indonesia, yang meliputi factor-faktor penyebab kemiskinan nelayan serta cara penanggulangannya.











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Perikanan
Perikanan merupakan semua kegiatan yang berkaitan dengan ikan. Menurut Soselisa (2001:5), perikanan didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya hewan atau tanaman air yang hidup bebas di laut atau perairan umum. Adapun menurut Mubyarto (1984:23), yang dimaksud dengan perikanan ialah segala usaha penangkapan, budidaya ikan serta pengolahan sampai pemasaran hasilnya. Sedangkan menurut UU No 9 tahun 1985, perikanan ialah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yaitu kegiatan ekonomi bidang penangkapan/pembudidayaan ikan. Dewasa ini aktivitas perikanan, termasuk agrobisnis perikanan, tengah berlangsung di masyarakat. Di beberapa kawasan, agrobisnis perikanan sebagai suatu kegiatan kegiatan ekonomi telah menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat dan memberikan dampak ganda kepada sector lain, bahkan terhadap aspek social dan budaya.
Di tengah krisis ekonomi yang melanda bumi pertiwi sejak tahun 1998, banyak manufuktur maupun jasa rontok atau tumbuh secara negative hingga saat ini. Namun, usaha perikanan mampu berkembang dengan pertumbuhan yang positif. Dengan tingginya harapan yang dibebankan kepada sector perikanan maka, diupayakan untuk lebih banyak lagi menggali dan memanfaatkan potensi perikanan.


2.2  Sumber Daya Perikanan
Sumber daya perikanan mencakup sumber daya air (sumber daya alam), sumber daya ikan, dan sumber daya manusia sebagai pelaku usaha perikanan yang terdiri dari nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah hasil perikanan, serta sumberdaya buatan yang mencakup fasilitas perikanan dan teknologi.
2.2.1        Sumber Daya Alam
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.000 pulau besar dan kecil serta 81.000 km garis pantai. Pulau-pulau tersebut membentang dari Sabang hingga Merauke, mengandung ribuan sungai, danau, rawa dan genangan air lainnya dengan potensi perikanan air tawar yang sangat besar.
Sumber daya alam yang begitu melimpah mengandung potensi perikanan yang tinggi, baik dari perikanan tangkap maupun akuakultur. Potensi perikanan tangkap di Indonesia diperkirakan mencapai 6,41 juta ton per tahun.
Dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan. Daerah penangkapan ikan (fishing ground) dibagi menjadi 9 wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yaitu Perairan Selat Malaka, Perairan Laut Cina Selatan, Perairan Laut Jawa, Perairan Selat Makassar dan Laut Flores, Perairan Laut Banda, Perairan Laut Seram dan Teluk Tomini, Perairan Laut Sulawesi dan samudra Pasifik, Perairan Laut Arafuru Dan Perairan Samudra Hindia.


2.2.2        Sumber Daya Ikan
Indonesia memiliki sumber daya ikan yang luar biasa besar, baik dari keragaman maupun jumlahnya. Dari 20.000 jenis ikan di dunia, sebagian terdapat di Indonesia. Beberapa jenis ikan telah di eksploitasi secara komersial dan besar-besaran karena memiliki pasar yang terbuka, baik domestic maupun internasional.
Contoh komoditas perikanan laut yang memiliki pasar yang bagus, antara lain tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, teri, ekor kuning, layang kembung, lemuru, sarden dan cumi-cumi. Ikan tuna merupakan salah satu andalan utama ekspor Indonesia. Indonesia merupakan produsen utama ikan tuna untuk pasar Jepang.
2.2.3        Sumber Daya Manusia
Pelaku usaha perikanan di Indonesia terdiri dari nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah hasil perikanan, dan seluruh pelaku yang terlibat dalam usaha pendukung perikanan, seperti industry pakan, benih, bahan bakar, peralatan perikanan tangkap, akuakultur, pengolahan hasil perikanan, obat-obatan serta kapal perikanan.
2.2.4        Nelayan
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam perstatistikan perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat Jaring, mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke dalam perahu/kapal motor, mengangkut ikan dari perahu/kapal motor, tidak dikategorikan sebagai nelayan. Istri, anak dan orang tua nelayan yang tidak aktif dalam operasi penangkapan ikan tidak dikategorikan sebagai nelayan. Ahli mesin dan ahli listrik yang bekerja di atas kapal penangkap dikategorikan sebagai nelayan, walaupun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan.
Nelayan umunya berdomisili di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang beraktivitas perikanan laut (marine fisheries) dan perikanan perairan umum (inland fisheries) yang berdomisili di sekitar perairan danau, waduk, rawa dan sungai. Kedekatan nelayan terhadap sumber daya air, baik laut maupun perairan umum dikarenakan mereka menghendaki aksebilitas yang tinggi ke laut dan menjadikan perairan umum sebagai ladang penghidupan.
Jumlah nelayan di Indonesia mencapai 3.857.607 orang, terbanyak berdomisili di Provinsi Pulau Jawa Timur. Mereka terdiri dari nelayan perikanan laut sebanyak 3.311.821. orang dan nelayan perairan umum sebanyak 545.786 orang.
2.3  Defenisi Dan Kondisi Umum Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2006). Sedangkan menurut Depsos, kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2.100 kilo per kalori per orang per hari dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Suharto, 2005).
Pada dasarnya kemiskinan terbagi ke dalam berbagai ciri atau SMERU memberikan identifikasi kemiskinan (Suharto, 2005), sebagai berikut:
1.       Ketidakmampuan memenuhi konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan)
2.       Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan tansportasi)
3.       Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
4.       Kerentanan terhadap goncangan yang bersidat individual maupun missal.
5.       Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam
6.       Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat
7.       Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan
8.       Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9.       Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)
Selain itu, Kemiskinan tergategorikan kedalam kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmampuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2005). Struktur sosial tersebut tidak mampu menghubungkan masyarakat dengan sumber-sumber yang tersedia, baik yang disediakan oleh alam, pemerintah maupun masyarakat yang ada disekitarnya. Pihak yang berperan besar dari terciptanya kemiskinan struktural ini adalah pemerintah, karena pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dan kebijakan cenderung membiarkan masyarakat dalam kondisi miskin, tidak mengeluarkan kebijakan yang pro masyarakat miskin, jika pun ada lebih berorientasi pada proyek, bukan pada pembangunan kesejahteraan.
Sedangkan kemiskinan kultural menurut Lewis (Suharto, 2005), merupakan kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja. Ciri dari kebudayaan kemiskinan ini adalah masyarakat enggan mengintegrasikan dirinya dalam lembaga-lembaga utama, sikap apatis, curiga, terdiskriminasi oleh masyarakat luas. Kebudayaan kemiskinan biasanya merupakan efek domino dari belenggu kemiskinan struktural yang menghinggap masyarakat terlalu lama, sehingga membuat masyarakat apatis, pasrah, berpandangan jika sesuatu yang terjadi adalah takdir, dalam konteks keagamaan disebut dengan paham Jabariah, terlebih paham ini disebarkan dan di indoktrinasikan dalam mimbar agama.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi (Aulia, 2009), yaitu :
a.         Dimensi Ekonomi
Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
b.      Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
c.       Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Profit Nelayan Indonesia Dan Kemiskinannya
Hari Nelayan Indonesia yang lazim diperingati setiap tanggal 6 April kiranya bukan sebatas acara seremonial belaka. Peringatan ini merupakan momentum bagi seluruh elemen masyarakat untuk memikirkan kembali nasib para nelayan yang hingga sampai saat ini tetap saja terpinggirkan. Bahkan profesi sebagai nelayan tak jarang dipandang sebelah mata oleh sebagaian besar penduduk negeri ini. Diantara kategori pekerjaan terkait dengan kemiskinan, nelayan sering disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor).  
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, seperempat dari seluruh total penduduk miskin yang berada di Indonesia adalah dari kelompok dan keluarga nelayan tradisional di pesisir, yaitu sebanyak 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang sebanyak 31,02 juta orang.
Sungguh sangat  ironis, Indonesia yang kaya akan potensi sumber daya yang demikian besarnya, jika nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada dibawah kemiskinan dan selama ini justru terpinggirkan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan.
Padahal jika kita mau jujur, keberadaan nelayan sangatlah urgen dan menjadi penentu bagi masa depan kehidupan anak bangsa. Mereka adalah pejuang yang tangguh, pantang mundur dan tunduk kepada segala bentuk ancaman, bahkan bayang-bayang maut seringkali menghadang di depannya. Nelayan pulalah yang menjadi pahlawan dalam pemenuhan protein utama anak-anak bangsa kedepan.
Namun demikian, hikayat tentang nasib nelayan tidak berbanding lurus dengan kerja kerasnya. Ketidakberdayaan kaum nelayan telah menjadi fenomena klasik sepanjang sejarah Indonesia terkukuhkan sebagai negara bangsa. Dari zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga era Reformasi, keberadaan nelayan tetap saja terpinggirkan dan termarginalkan. Para nelayan terkatung-katung dalam sindrom kemiskinan. Bahkan di berbagai daerah, dalam jumlah besar nelayan tradisional terjerat hutang akibat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Kegigihan para nelayan yang berjuang untuk anak dan istri mereka, menjadikan mereka sosok pribadi yang tangguh. Semangat Kegigihan yang mereka kobarkan rasanya tak sebanding dengan kehidupan yang mereka jalani sampai saat ini yang masih tetap berada dalam situasi dan kondisi yang sangat memprihatinkan. Kalau pun ada diantara mereka yang bisa hidup mapan dan berkecukupan jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan nelayan yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan tersebut masih banyak yang tinggal di rumah yang sangat sederhana bahkan jauh dari layak. Mayoritas dari mereka masih tinggal di rumah-rumah dengan material dari kayu atau papan, beratap nipah dan sebagian kecil seng serta berlantai pasir. Kondisi rumah mereka yang tertancap di pasir pantai terlihat sudah hampir  reot dan hampir tumbang ditelan waktu yang terus berputar.
Kondisi nelayan semakin rentan dengan kemiskinan karena hasil laut semakin berkurang, daya dukung sumber daya ikan terus menurun, jumlah para nelayan semakin meningkat , dan juga perubahan iklim dan gangguan cuaca yang kadang tak menentu. Kemiskinan itu tecermin dari tingkat pendapatan, keterjangkauan pendidikan anak, kesehatan, dan ketahanan pangan keluarga nelayan.
Dengan menyimak uraian-uraian tersebut, terlihat jelas bahwa nelayan Indonesia yang merupakan pahlawan penyedia gizi protein bagi anak-anak bangsa, hanya dijadikan sebagai subjek oleh oknum-oknum pemerintah dalam mencapai ambisi pribadi mereka. Sungguh sangat ironis bukan?
3.2  Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Nelayan Indonesia
Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian besar bersumber dari aktivitas menangkap ikan dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Diantara kategori pekerjaan terkait dengan kemiskinan, nelayan sering disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor).  Berdasarkan data World Bank mengenai kemiskinan, bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin.  Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan (BPS, 2008).
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial (Suharto, 2005). Oleh karena itu, harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan.
Terdapat beberapa aspek yang menyebabkan terpeliharanya kemiskinan nelayan atau masyarakat pinggiran pantai, diantaranya yaitu:
1)      Kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin,
2)      banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek.
3)      Kondisi bergantung pada musim sangat berpengaruh pada tingkat kesejahteraan nelayan, terkadang beberapa pekan nelayan tidak melaut dikarenakan musim yang tidak menentu.
4)      Rendahnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan peralatan yang digunakan nelayan berpengaruh pada cara dalam menangkap ikan, keterbatasan dalam pemahaman akan teknologi, menjadikan kualitas dan kuantitas tangkapan tidak mengalami perbaikan.

Selain aspek-aspek tersebut, ada juga 2 faktor yang kompleks saling terkait satu sama lain. Faktor- faktor tersebut yaitu:
1)      Faktor Internal, terdiri dari:
·         Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia nelayan
·         Keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan
·         Hugungan kerja (nelayan pemilik-nelayan buruh) dalam organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungankan nelayan buruh
·         Kesulitan melakukan diversifikasi usaha terhadap okupsi melaut
·         Gaya hidup yang dipandang boros sehingga kurang berorientasi ke masa depan.
2)      Factor Eksternal
·         Kebijakan pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional, parsial dan tidak memihak nelayan tradisional
·         System pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara
·         Kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek penangkapan dengan bahan kimia, pengrusakan terumbu karang, dan konversi hutan bakau di kawasan pesisir
·         Penggunaan peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan
·         Penegakan hokum yang lemah terhadap perusak lingkungan
·         Terbatasnya tekonologi pengolahan hasil tangkapan pasca tangkap
·         Terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan
·         Kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun
·         Isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia

Kondisi lain yang turut berkontribusi memperburuk tingkat kesejahteraan nelayan adalah mengenai kebiasaan atau pola hidup. Tidak pantas jika kita menyebutkan nelayan pemalas, karena jika dilihat dari daur hidup nelayan yang selalu bekerja keras. Namun kendalanya adalah pola hidup konsumtif, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder. Namun ketika paceklik, pada akhirnya berhutang, termasuk kepada lintah darat, yang justru semakin memperberat kondisi.
Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima buruh nelayan hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari. Berdasarkan data Dirjen Perikanan Tangkap DKP, pada 2007 rata-rata pendapatan 2,7 juta nelayan kecil di Indonesia hanya sebesar Rp 445.000 per keluarga per bulan. Berdasarkan hasil perhitungan BPS, NTN tahun 2008 terdapat peningkatan, yaitu hingga Desember 2008 mencapai angka 103,9. Jumlah ini meningkat sebesar 1,04% dibandingkan pada awal tahun, bulan Januari 2008 yang hanya sebesar 99,7. Artinya, pada akhir tahun 2008, nelayan telah dapat menyimpan hasil pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya. Meskipun di awal tahun mengalami ketekoran biaya hidup. Melihat kondisi ini memang miris sekali kondisi keluarga nelayan. Dengan pendapatan 445.000/bulan mana mungkin mereka berpikir akan pendidikan, kesehatan, untuk kebutuhan pangan saja tidak bisa makan 3 kali sehari.
Kebijakan negara dalam upaya mengentaskan nasib nelayan ternyata gagal sampai sekarang. Ada dua pandangan besar yang kerap kali digunakan dalam menjawab pertanyaan kenapa nelayan kita miskin, yakni paradigma humanis dan strukturalis. Paradigma yang pertama menganggap bahwa penyebab kemiskinan nelayan karena faktor internal masyarakat. Dalam aliran ini, kemiskinan terjadi sebagai akibat budaya masyarakat nelayan yang cenderung boros dan malas, keterbatasan modal dan teknologi, serta keterbatasan manajemen.
Pada pandangan kedua, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh karena faktor struktur kuasa sosial-politik yang tidak berpihak kepada masyarakat nelayan miskin. Paradigma ini memandang bahwa nelayan miskin bukan karena budayanya atau terbatasnya modal, melainkan karena faktor eksternal yang menghambat proses mobilitas vertikal nelayan. Faktor eksternal tersebut berjenjang, baik pada tingkat mikro-desa maupun makro-struktural. Tidak adanya dukungan politik terhadap pembangunan kelautan dan perikanan juga menjadi menyebab terjadinya kemiskinan nelayan. Proyek pembangunan kita masih berorientasi daratan (land-oriented), sentralistik, dan sama sekali tidak berpihak pada masyarakat pesisir.
Bertolak dari pemaparan-pemaparan yang terkait di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa terdapat 6 (enam) masalah pokok terkait penyebab kemiskinan masyarakat nelayan, yaitu:
1.      Kondisi Alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.
2.       Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah
3.      Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak, tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.
4.      Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga di bawah harga pasar.
5.      Program pemerintah yang belum memihak nelayan, kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersifat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan, yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan nelayan.
6.      Tidak adanya data kemiskinan nelayan ini mempersulit pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik. Tanpa adanya instrumen pengukuran kemiskinan nelayan secara reguler, maka sulit pula mengukur keberhasilan program pembangunan perikanan yang katanya pro-poor.
3.3 Penanggulangan Kemiskinan Nelayan Di Indonesia
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
Dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang terjadi bukan kemiskinan nelayan melainkan pemiskinan nelayan. Untuk mengatasinya dibutuhkan keseriusan dan keterlibatan semua pihak. Arif Satria (2009), mengemukakan bahwa untuk membuat nelayan maju diperlukan pendekatan-pendekatan struktural baik mengatasi patron-klien di tingkat desa maupun meningkatkan dukungan politik untuk kemajuan nelayan di tingkat makro. Artinya, perlu kebijakan-kebijakan alternatif yang secara riil mendorong nelayan untuk melakukan mobilitas vertical.
Berdasarkan peninjauan dan pengamatan yang diperoleh dari literature-literatur pendukung terkait masalah kemiskinan nelayan Indonesia, maka penulis menarik kesimpulan mengenai upaya-upaya penanggulangan kemiskinan nelayan Indonesia. Upaya-upaya yang dimaksudkan yaitu:
1.      Pemberdayaan Nelayan
Pemberdayaan nelayan yang dimaksudkan disini yaitu, mengenai kebijakan pemerintah yang memihak dan sesuai dengan kenyataan serta akar permasalahan nelayan. Kebijakan pemerintah yang tepat sasaran yaitu dengan menjalankan “ Program Minapolitan “ secara partisifatif.
Program Minapolitan merupakan program rumpun Agropolitan yang secara fungsional bertumpu pada kegiatan  sektor perikanan dengan basis pengembangan komoditas unggulan baik pada kegiatan budidaya laut, air payau maupun air tawar,   termasuk produk-produk olahan dan jasa lingkungan perairan dalam suatau cluster kawasan  yang terdiri dari beberapa desa atau kecamatan, sebagai upaya mewujudkan kesejajaran antara kota dengan desa.   Dalam kondisi kesejajaran itulah, diharapkan  akan terjadi peningkatan akses masyarakat pedesaan melalui pengembangan pusat-pusat pelayanan. Karena itu, pembangunan infrastruktur perdesaan menjadi kunci penting sebagai awal pembangunan Minapolitan.
Program minapolitan ini selain diupayakan untuk mengurangi tingkat kemiskinan khususnya nelayan yang merupakan salah satu stakeholder perikanan, juga dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan demikian, hal tersebut merupakan suatu kebijakan pemerintah yang sangat efisien dan efektif, tinggal bagaimana pola dan strategi pemerintah dalam menjalankan program tersebut, agar tujuan dan sasaran serta target program tersebut dapat tercapai.
2.      Pemberian Bantuan Permodalan Disertai Dengan Penyuluhan Berkala Yang Baik
Pemberian bantuan permodalan dengan disertai penyuluhan yang berkala merupakan langkah tepat dalam menanggulangi kemiskinan nelayan Indonesia. Mengingat usaha perikanan dalam hal ini usaha nelaya sangat kekurangan modal dan sulit untuk akses ke lembaga keuangan. Permodalan yang biasanya berasal dari bantuan pemerintah berupa kredit ringan atau subsidi berupa kapal dan alat merupakan bantuan jangka panjang akan menyebabkan dampak yang merugikan nelayan yaitu jumlah armada yang semakin meningkat, justru akan menghasilkan produksi perikanan yang semakin menurun.
3.      Dimensi Social, Budaya Dan Politik
Perlu adanya jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat serta derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem sosial politik. Selain itu, dibutuhkan gerakan sosial kaum nelayan untuk bangkit dari kemiskinan. Penguatan organisasi-organisasi nelayan sebagai kekuatan masyarakat nelayan untuk memperjuangkan hak dan kehidupannya. Sindu Dwi hartanto (2011) menegaskan bahwa organisasi nelayan tersebut sebagai perwakilan kepentingan dan aspirasi masyarakat nelayan. Sebagai perwakilan kepentingan dan aspirasi masyarakat nelayan maka kesempatan dan suaranya perlu diperhatikan dengan memberikan penguatan sumber daya serta memberikan ruang-ruang partisipasi keterlibatan dalam seluruh aktivitas dan perencanaan pembangunan yang berkaitan dengan masyarakat nelayan.
4.      Peningkatan Pendidikan Nelayan
Rendahnya tingkat pendidikan nelayan, menyebabkan kurangnya pemahaman akan manajemen dan pelestarian sumberdaya. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya dari pemerintah terkait, untuk meningkatkan pendidikan nelayan.
Dukungan akan peningkatan pendidikan tidak semata kepada nelayan sebagai kepala keluarga, melainkan nelayan dalam konteks keluarga. Keterbatasan pengetahuan terkadang terjadi karena sifatnya turun temurun, dimana orang tua tidak mengharuskan anaknya untuk melanjutkan sekolah.
Keterbatasan keluarga nelayan dalam mengakses pendidikan dasar yang bersifat formal maupun pendidikan lain yang sifatnya informal harus ditingkatkan, pemangku kepentingan harus memprioritaskan akan hal ini dengan membangun fasilitas pendidikan di dekat pemukiman nelayan, membangun akses parsara, seperti jalan. Selain memberikan variasi pilihan pendidiak baik formal maupun informal, hingga penyelenggaraan setara paket A, B dan C. Jika kondisi pendidikan pada anak nelayan jauh lebih baik, minimal memenuhi pendidikan dasar bahkan menengah, akan memudahkan nelayan tersebut dalam memanfaatkan tehnologi juga perkembangan informasi lainnya.

5.      Merubah Pola Kehidupan Dan  Pemikiran Nelayan
Streotipe seperti boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Sebagai contoh, mereka pergi subuh pulang siang, bahkan pada masa tertentu nelayan terpaksa harus beberapa hari dilaut dan menjual ikan hasil tangkapan dilaut melalui para tengkulak yang menemui mereka ditengah laut, kemudian menyempatkan waktu pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan lupa akan kondisi ketika mengalami kesusahan.
Perlu adanya upaya merubah cara berpikir nelayan dan keluarganya, terutama mengenai kemampuan dalam mengelola keuangan disesuaikan dengan kondisi normal dan paceklik, selain mencari alternatif aktivitas disaat kondisi cuaca tidak menentu, dan penyuluhan merupakan alternative yang tepat.








BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
               Berdasarkan hasil pembahasan tentang profil kemiskinan nelayan Indonesia tersebut di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan  bahwa :
1.      Nelayan Indonesia yang merupakan pahlawan penyedia gizi protein bagi anak-anak bangsa, hanya dijadikan sebagai subjek oleh oknum-oknum pemerintah dalam mencapai ambisi pribadi mereka.
2.      Ada 6 masalah atau factor penyebab adanya kemiskinan nelayan Indonesia, yaitu kondisi alam, tingkat pendidikan, pola kehidupan nelayan, pemasaran hasil tangkapan, program pemerintah yang belum memihak kepada masalah nelayan, dan tidak adanya data kemiskinan nelayan mempersulit pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik.
3.      Upaya-upaya penanggulangan kemiskinan nelayan Indonesia, yaitu pemberdayaan nelayan (program minapolitan), pemberian bantuan permodalan disertai dengan penyuluhan berkala yang baik, dimensi social, budaya dan politik, peningkatan pendidikan nelayan, dan mengubah pola kehidupan dan pemikiran nelayan.
4.2 Saran
Kondisi nelayan semakin rentan dengan kemiskinan, oleh karena itu perlu adanya perhatian yang serius dari pemerintah dan instansi terkait dalam hal pengambilan kebijakan dan keputusan yang sesuai dengan masalah dan kondisi nelayan.
                                                     DAFTAR PUSTAKA

Rizal, I. 2011. Hikayat Kemiskinan Nelayan. Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijga. Yogyakarta
Aulia, Tessa . F. 2009. “Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan dan Kemiskinan Aspek Sosial Budaya”. Draft Laporan Final Hibah Multidisiplin UI.
Suharto, Edi. 2005. “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”. Bandung:  Refika Aditama.
Suharto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial sebagai kebijakan public. Alfabeta. Bandung.
BPS. 2008. Berita Resmi BPS
Solihin, Akhmad. “Musim Paceklik Nelayan dan Jaminan Sosial
Riyono, S. 2011. Nelayan masih diabaikan. Sekjen DPP PPNSI (Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia). Jakarta
Kusnadi, M. A. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Penerbit Pondok Edukasi Dan Okja Pembaruan. Jogja.

1 komentar:

  1. The best free slots in youtube
    IOS XR2 - Best free youtube mp3 slots in youtube. The best free slots in youtube. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

    BalasHapus